> >

Kerajinan Parang Kecamatan Nelle

Parang bagi masyarakat Flores adalah bagian keseharian yang tidak dapat terpisahkan. Kemanapun mereka pergi, laki-laki maupun perempuan, sebuah parang menjadi bagian penting yang selalu harus dibawa, sebagaimana telepon selular bagi masyarakat perkotaan. Terutama ini masih berlaku bagi mereka yang tinggal di perkampungan atau pedesaan untuk perlengkapan mereka berangkat ke sawah atau ladang. Parang, secara khusus, juga merupakan simbol kejantanan dan bagian penting kehidupan sehari-hari bagi kaum laki-laki, baik sejak kanak hingga dewasa. Parang, demikian pentingnya, juga menjadi bagian kelengkapan para laki-laki hingga dalam setiap tarian adat sekalipun.
Berbicara mengenai tempat produksi parang, ternyata parang-parang di Flores tidak diproduksi secara masal di sebuah pabrik. Satu lagi kearifan lokal di Flores, parang-parang ini ternyata diproduksi secara rumahan. Tidak banyak yang tahu apabila di kampung-kampung di Kecamatan Nelle, Kabupaten Sikka yang sejuk karena terletak di dataran yang cukup tinggi ini, ternyata terdapat banyak pengrajin pandai besi yang tersebar di rumah-rumah penduduk.

Hal Unik
Ada yang menarik dan menjadikan kegiatan “titi parang” (bahasa lokal untuk pandai besi) di Nelle ini menjadi unik dibandingkan dengan kegiatan pandai besi di tempat lain pada umumnya. Apabila kita amati, hampir setiap kegiatan pandai besi yang biasanya dilakukan di halaman samping atau belakang rumah ini, para pengrajin ini terlihat menggunakan badan meriam sebagai landasan untuk menempa setiap batang besi yang akan dijadikan parang, pisau, atau samurai.
Bagaimana bisa? Setiap pengrajin yang ditanya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti untuk asal-usul meriam ini. Apakah meriam ini berasal dari jaman pendudukan Jepang, Belanda, atau malah jaman ekspedisi kapal-kapal dari Portugis beberapa ratus tahun lalu? Tidak ada tulisan atau tanda-tanda di badan meriam-meriam sepanjang hampir empat meter ini yang bisa digunakan sebagai petunjuk asal benda unik ini.
Yang pasti, meriam-meriam ini telah digunakan secara turun temurun oleh para pengrajin yang dalam sehari mereka bisa menghasilkan antara empat hingga lima parang. Parang-parang berbagai bentuk yang sudah jadi ini masih memerlukan sentuhan akhir, yaitu digerinda agar lebih tajam dan terlihat mengkilat sebelum diberikan pegangan yang biasanya dari batang bambu. Harga parang setelah jadi bervariasi, tergantung bentuk, besar, dan panjangnya. Setelah jadi, para pengrajin ini akan menjual langsung parang-parang ini ke pasar-pasar terdekat, baik di Pasar Alok, Pasar Maumere, hingga Pasar Geliting dan Lekebai. Dari hasil wawancara dengan seorang pengrajin, penghasilan dari membuat parang dalam sebulan cukup dapat diandalkan sebagai pekerjaan tetap bagi mereka, mengingat kebutuhan dan permintaan akan parang di Flores tidak pernah berhenti.
Kegiatan pandai besi ini dilakukan khususnya oleh para bapak. Nah, untuk para ibunya, setiap hari mereka bergiat membuat tenun-tenun ikat yang dilakukan bersama-sama dengan para bapak di halaman rumah mereka masing-masing. Kegiatan lain yang dapat disaksikan di kampung-kampung ini adalah penyulingan air nira untuk dibuat menjadi arak atau yang di kampung-kampung di Sikka lebih dikenal dengan nama “moke”.
Bagaimana menuju ke sana ?
Kampung Nelle tidak jauh dari Maumere. Untuk menuju desa para pengrajin ini dapat ditempuh dengan motor atau mobil. Jarak dari Maumere kurang lebih adalah 9 kilometer ke arah sebelum menuju Seminari Ledalero. Dari jalan ini nantinya akan ada jalan menikung turun ke kiri ke Desa Kaduwair. Di sepanjang desa ini dan desa-desa di sebelahnya, para pengrajin pandai besi ini secara turun temurun memperagakan gerakan menempa besi diiringi dentingan bunyi besi yang beradu dengan badan meriam dan hamer untuk membuat bilah-bilah parang terbaiknya.
***

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.

Leave a comment